Halo semua! Ini adalah post gua yang ke 12. Wah udah lumayan banyak ya post nya.
Yak! Jadi kali ini gua akan menceritakan mengenai pengalaman gua selama Live In di kelas 11, tepatnya 1 tahun yang lalu. Karena setahun yang lalu gua masih muda banget (ciaelah) jadi nyebutnya pake aku aja ya!
Pada tanggal 15-21 Januari 2015, seluruh
siswi SMA Santa Ursula Kelas XI mengadakan Live In ke desa Boro, kabupaten
Kulonprogo, DIY. Aku dipasangkan dengan Vio XI SOS 1 dan kami tinggal di
kediaman Bapak Endro Setiawan lingkungan St. Yusuf Boro Gunung. Beliau memiliki
seorang istri bernama Ibu Yustin serta dua orang anak laki-laki, bernama –kami
menyebutnya– Mas Erich dan Zandro. Mas
Erich telah menyelesaikan pendidikannya dan merantau ke berbagai pulau di
Indonesia. Ia sedang dalam masa cutinya sehingga berada di kampung. Si putra
bungsu Zandro sekarang sedang duduk di kelas 5 SD Marsudirini, Boro. Kami
berdua tentunya sangat diterima dan bahkan aku sendiri merasa seperti anak
kandung dalam keluarga tersebut.
Pengalaman yang paling berkesan bagiku selama 4 hari
Live In bertempat pada hari Sabtu, 17 Januari 2015. Saat itu Bapak, Ibu, Mas
Erich, Zandro, Aku, dan Vio baru saja pulang dari gereja. Jam di rumah sudah
menunjukkan pukul 18.30 namun Ibu belum menyiapkan makan malam sama sekali.
Akhirnya, sesampainya di rumah Ibu, aku, dan Vio bersama-sama memasak makan
malam. Bapak dan Mas Erich memberi makan babi yang sedang meraung-raung karena
sudah lewat jam makannya. Zandro yang bosan karena tidak memiliki pekerjaan
akhirnya ikut memasak bersama aku, Ibu, dan Vio. Namun alhasil, Zandro malah
dimarahi Ibu karena bukannya membantu malah membuat onar. Saat itu kami hanya
memasak 3 bungkus Indomie dan menggoreng tempe karena cukup praktis. Ibu yang
ahli dalam hal potong-memotongpun mengambil bagian itu. Mulai dari bawang
merah, bawang putih, daun seledri, daun bawang, sampai tempe pun dipotongnya
dengan rapi dan sama rata. Vio membantu Ibu memotong dan mengupas bawang
sedangkan aku membantu menggoreng bawang merah dan tempe, meski dengan keahlian
memasakku yang pas-pasan. Zandro sangat membantu ketika ia menyorotkan sinar
senter ke arahku yang tidak terbiasa menggoreng dalam kegelapan. Ibu menutup kegiatan
memasak kami dengan merebus mie dan beberapa sayuran ke dalam air mendidih.
Setelah semua lauk siap, aku dan Vio menyiapkan 6 buah piring dan 6 pasang
sendok garpu. Kemudian kami memanggil Bapak dan Mas Erich untuk makan malam.
Setelah semua anggota keluarga berkumpul, kami berdoa dan menyantap makan malam
bersama.
Suasana yang kurasakan saat itu sangatlah hangat.
Sederhana namun berarti. Hanya dengan tiga bungkus Indomie dan tempe goreng,
kami dapat mengisi perut sambil bersenda gurau dengan anggota keluarga yang
lain. Kebersamaan itulah yang masih membekas di hatiku sehingga aku memilih
peristiwa ini sebagai pengalaman yang paling berkesan. Berada di rumah yang
penuh dengan anggota keluarga saja sudah menjadi suatu keberuntungan bagi aku
dan Vio.
Bapak Endro dan istrinya adalah orang yang sangat
setia kepada Tuhan dan selalu mencariNya. Keluarga Bapak Endro memang tidak
sekaya orang-orang di Jakarta. Uang yang mereka miliki mungkin tidak sebanyak
orang-orang kaya di Jakarta. Namun mereka selalu bersyukur atas apa yang mereka
miliki. Mereka masih bisa merasakan kebahagiaan setiap harinya karena mereka
menyadari harta yang paling berharga di dunia ini bukalah uang dan
menghargainya. Mereka bahkan mungkin merasakan kehangatan yang lebih besar
daripada orang-orang di Jakarta yang selalu sibuk mencari uang. Tuhan memang selalu
memberikan umatNya sesuai dengan apa yang mereka perlukan.
(kiri-kanan : Mas Erich, Aku, Bapak, Vio ; depan : Ibu, Sandro) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar